Friday, July 6, 2018
Masih Perlukah Survey Politik?
Masih Perlukah Survey Politik ?
Setelah pilkada serentak ini di beberapa grup WA yang saya ikut, banyak teman-teman membahas hasil survey dan quick count (QC). Bila sekedar membandingkan angka boleh-boleh saja, tetapi di dalam statistika angka itu mempunyai makna tersendiri. Angka adalah suatu nilai hasil sebuah proses. Walaupun survey dan QC itu bertujuan untuk memprediksi perolehan suara suatu pasangan calon pemimpin daerah, keduanya mempunyai parameter yang berbeda. Artinya membandingkan hasil survey dengan QC itu bukan ‘apple to apple comparison’.
Data hasil survey dan QC pilkada memang memperlihatkan perbedaan. Akan tetapi hal itu tidak berarti dapat disimpulkan bahwa survey tidak berguna. Atau bahkan ada yang mengatakan survey ‘abal-abal’ hasil rekayasa suatu kelompok. Kita harus melihatnya secara bijak, rasional, tidak diganggu oleh sentimen emosional senang atau sedih yang berlebihan. Apapun hasilnya, survey dalam politik itu sangat bermanfaat.
Sejauh metodologi yang dipergunakan benar dan dijalankan dengan disiplin maka hasil survey dapat dipertanggungkan. Secara politik hasil survey tersebut banyak manfaatnya bagi semua kandidat yang dijadikan parameter (angka yang akan diduga). Tentu sangat berguna bagi kandidat dengan nilai prediksi tinggi ataupun rendah. Karena memang nilai dugaan itu bukan titik akhir. Tetapi baru merupakan indikator (peluang) terhadap sesuatu yang akan terjadi. Bagi pasangan yang cerdas, hasil survey selanjutnya dipergunakan untuk pengaturan strategi agar pada ujungnya diperoleh suara yang tinggi alias menang.
Parameter dalam survey bersifat dinamis, bergerak akibat banyak faktor yang berpengaruh. Dalam statistika parameter jenis ini disebut “random parameter” (parameter acak) yang memerlukan pendekatan statistika lebih tinggi, misalnya statistika Bayesian. Walaupun tentunya pendugaannya bisa didekati melalui teori statistika konvensional (statistika frekuentis) dengan asumsi parameter tetap (fixed parameter) seperti halnya dalam QC. Tetapi setidaknya harus memasukan faktor waktu, misalnya rentang bulan pelaksanaan survey. Di sinilah azas kemanfaatan survey bagi strategi ke depan. Namun tentunya hasil survey dan QC tidak bisa dibandingkan secara ‘head to head’ seakan-akan kedua metode itu memiliki tipe parameter yang sama. Padahal keduanya mempunyai jenis parameternya berbeda.
Selain kompleksitas teori statistika untuk pendugaan parameter acak, dalam teknik penarikan contoh (sampling technique) ada dua sumber penyimpangan atau error (galat). Pertama adalah galat akibat sampling atau sampling error. Kedua adalah galat akibat non sampling error atau disebut juga systematic error (galat sistematis).
Kesalahan atau galat akibat sampling itu bisa diperkecil dengan penambahan ukuran contoh (sample size). Adapun kesalahan non sampling error tidak bisa diselesaikan dengan penambahan ukuran contoh. Hal ini baru bisa diperkecil dengan metode yang lebih tinggi dan instrumen yang bisa menggiring konsistensi jawaban. Itu pun tetap akan menyisakan galat yang sulit dikoreksi.
Dalam hal tipe kesalahan atau galat (error) ini, pada QC hanya ada sampling error. Sehingga metodenya tidak rumit dan hasilnya tidak berbias, sejauh metode yang diterapkan sesuai dengan teori. Sedangkan dalam survey, selain ada sampling error juga ada systematic error (non sampling error). Penjumlahan kedua galat itu tentu akan membuat akurasi hasil survey tidak akan setajam QC.
Faktor non sampling error itu bisa berupa waktu pelaksanaan, demografi responden, lokasi, instrumen, dan pelaku surveyor. Selain itu juga ada faktor kejujuran responden yang sering dianggap sampling error, padahal bukan. Semua ini mengakumulasi menjadi systematic error yang menjadi tantangan menarik bagi para ahli statistika.
Terlepas dari kompleksitas survey tersebut, tetap saja survey yang sering dilakukan saat ini sangat berguna bagi dunia politik. Asal kita bisa menyikapinya secara rasional dan bahkan saintifik, bukan sekedar luapan emosional. Jadi kalau ada pertanyaan ‘apakah survey itu berguna?’ Jawabannya sangat berguna. Titik
Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia/Guru Besar Statistika FMIPA IPB serta Anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei dan Opini Publik (PERSEPI)
Masih Perlukah Survey Politik?
Reviewed by MPG
on
July 06, 2018
Rating: 5
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment