Latest News

Friday, July 6, 2018

Hasil Pilkada yang Ubah Posisi Jokowi dan PDIP



Hasil Pilkada yang Ubah Posisi Jokowi dan PDIP

Pilkada serentak pada 2018 memunculkan sejumlah kejutan besar. Merujuk hasil hitung cepat versi lembaga survei, ada dua hasil yang paling menyita perhatian, yakni kemenangan Ridwan Kamil di Jawa Barat (Jabar) serta Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur (Jatim).

Lewat Pilkada di Jabar dan Jatim, kita juga menyaksikan anomali, yakni pertarungan antara partai pengusung Jokowi. Mengapa partai pemerintah justru saling sikut? Mari kita telaah secara saksama.

Sejatinya, partai yang mengusung Jokowi di Pilpres 2019 amat penting untuk menyatukan langkahnya di Pilkada Jabar dan Jatim sebagai konsolidasi jelang Pilpres 2019. Sebab dua daerah itu merupakan lumbung suara.

Di Jabar ada 31,7 juta pemilih, sedangkan Jatim punya 30,1 juta. Dengan total pemilih Pilpres 2019 yang mencapai 196,5 juta, maka Jabar dan Jatim punya bobot sekitar 30 persen dari total pemilih nasional.

Tak berlebihan maka jika ada teori bahwa Jabar dan Jatim akan menentukan siapa Presiden Indonesia 2019. Dengan kenyataan itu jadi amat menarik untuk menyaksikan sesama partai koalisi berkonflik dengan skala yang cukup tajam.

Beberapa jam menjelang pencoblosan di Jatim, ada pernyataan dari Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto yang menyebut Jokowi mendukung Khofifah Indar Parawansa untuk jadi gubernur. Padahal di sisi lain, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri turun gunung untuk memenangkan rival Khofifah, yakni Gus Ipul dan Puti Soekarno.

Pernyataan itu membuat PDIP berang dan menyebut Airlangga sedang mengadu domba Jokowi dan Mega. Satu hal yang bisa diamati serius bahwa Ketum Golkar yang tak lain adalah menteri Jokowi, secara terbuka berani menyebut posisi politik sang presiden di Jatim. Di sisi lain, Jokowi tak pernah membantah secara langsung pernyataan Airlangga.

Apa seberani itu seorang Airlangga mencatut nama Jokowi? Atau justru pernyataan Airlangga itu adalah sikap politik Jokowi yang sesungguhnya?

Tak hanya di Jatim, Jabar juga memperlihatkan sebuah anomali. Ridwan Kamil nyatanya merupakan calon yang paling awal didukung Nasdem. Sama seperti Golkar, Nasdem merupakan partai yang secara sukarela menyerahkan tiket pilpres 2019 pada Jokowi.

Suara Golkar di DPR mencapai 16,2 persen. Jika ditambah Nasdem yang mengantongi 6,4 persen maka Jokowi sudah aman maju untuk 2019 dengan suara total di atas 20 persen presidential threshold. Makin manis lagi bagi Jokowi, sebab dia bisa maju dengan keleluasaan untuk mencalonkan wapres pilihannya sendiri.

Golkar dan Nasdem memberi tiket pada Jokowi tanpa embel-embel tuntutan terkait posisi cawapres. Jokowi jelas punya posisi tawar sangat tinggi dan cukup strategis di kedua partai itu. Sebab dengan Nasdem dan Golkar saja, Jokowi sudah cukup mengantongi tiket untuk bertarung di 2019.

Di sisi lain, PDIP justru lebih aktif dalam mendikte penentuan siapa cawapres Jokowi. Posisi tawar Jokowi di PDIP pun coba dikerdilkan di sejumlah kesempatan dengan sebutan bahwa dia hanya seorang petugas partai.

Karena itu, di balik manuver politik Nasdem di Jabar dan Golkar di Jawa Timur, banyak yang menilai ada sosok Jokowi yang pegang kunci.

Jokowi bisa jadi sedang menguji mesin politik Nasdem dan Golkar sekaligus menaikkan posisi tawarnya di PDIP. Dengan kemenangan Nasdem di Jabar dan Golkar di Jatim, Jokowi jauh lebih percaya diri untuk menentukan siapa cawapresnya tanpa tekanan elite partainya.

Memang, ada sejumlah isu terkait tarik ulur cawapres Jokowi. Pria Solo itu tampak tak nyaman dengan sikap beberapa partai yang mendikte penentuan cawapres.

Dan berkaca pada hasil Pilkada, Jokowi tampaknya akan semakin mantab dalam memilih cawapres dari kalangan profesional. Sebab hasil di Pilkada membuktikan sejumlah calon yang berlatar nonkader adalah calon yang dikehendaki rakyat.

Sebagai contoh, Edy Rahmayadi yang berlatar militer. Atau Ridwan Kamil, Anies Baswedan, dan Nurdin Abdullah yang punya latar akademisi dan profesional. Pun halnya Khofifah yang notabene kini bukan kader partai manapun.

Jadi berkaca dari hasil Pilkada kali ini, tak berlebihan jika nantinya Jokowi lebih memilih menunjuk seorang profesional nonkader partai sebagai pendampingnya.
 
Walhasil, Jokowi tampak coba mengubah embel-embelnya dari petugas partai menjadi penguasa partai. Kini Jokowi bisa menerapkan strategi //take it or leave it// pada partai yang kerap mendiktenya terkait penentuan cawapres 2019.

Itu berarti elite yang kerap melabeli Jokowi sebagai petugas partai, mau tak mau harus menerima siapapun cawapres yang dipilih Jokowi. Jika tidak maka, Jokowi bisa meninggalkan mereka dengan kendaraan Nasdem dan Golkar yang telah terbukti keampuhannya di sejumlah Pilkada.

Jadi pertanyaan besarnya, apakah Jokowi akan tetap bersama PDIP?
Oleh Abdullah Sammy

No comments:

Post a Comment

Tags